Beranda | Artikel
Peristiwa Hilfu al Fudhul
Kamis, 11 Maret 2004

PERISTIWA HILFU AL FUDHUL

Peristiwa in terjadi pada bulan Dzulqa’dah tahun kedua puluh sebelum kenabian,[1] tepatnya empat bulan[2] setelah selesai dari perang Fijaar (Harbu al Fijaar) antara suku Quraisy dan kabilah-kabilah yang bersekutu dengan bani Kinanah menghadapi serangan Bani Qais ‘Ailaan [3], hingga kemudian terjadi kesepakatan atau perjanjian yang dikenal dengan Hilfu al Fudhul atau Hilfu al Muthayyabin.

Keabsahan peristiwa ini dan keikutsertaan Rasulullah disampaikan oleh beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah menjadi nabi dan rasul, sebagaimana diriwayatkan Imam Ahmad di dalam kitab Musnad-nya dari sahabat Abdurrahman bin ‘Auf, ia berkata:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ شَهِدْتُ حِلْفَ الْمُطَيَّبِينَ مَعَ عُمُومَتِي وَأَنَا غُلَامٌ فَمَا أُحِبُّ أَنَّ لِي حُمْرَ النَّعَمِ وَأَنِّي أَنْكُثُهُ

Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Aku pernah menyaksikan Hilfa al Muthoyyabin bersama para pamanku sewaktu aku masih kecil. Aku tidak ingin membatalkannya dengan mendapatkan onta merah.”.[4]

Dalam riwayat al Baihaqi disebutkan :

مَا شَهِدْتُ حِلْفًا لَقُرَيْش إِلاَّ حِلْفَ الْمُطَيَّبِينَ وَمَا أُحِبُّ أَنَّ لِي حُمْرَ النَّعَمِ وَأَنِّي كُنْتُ نَقَضْتُهُ

Aku tidak pernah menyaksikan perjanjian kesepakatan orang Quraisy, kecuali Hilf al Muthayyabin. Aku tidak ingin membatalkannya dengan mendapatkan onta merah.[5]

Dalam riwayat al Humaidi disebutkan :

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَقَدْ شَهِدْتُ فِيْ دَارِ عَبْدِ اللهِ بْنِ جُدْعَان حِلْفًا لَوْ دُعِيْتُ بِهِ فِيْ الإِسْلاَمِ لأَجَبْتُ

Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya aku telah menyaksikan di rumah Abdullah bin Jad’aan satu perjanjian; seandainya aku diajak melakukannya dalam Islam, tentu aku kabulkan”.[6]

Dengan demikian peristiwa ini benar-benar terjadi, karena riwayat yang menjelaskannya cukup kuat. Namun perincian peristiwanya, tidak diriwayatkan dengan jalur yang shahih.

Kesepakatan dan perjanjian ini dipelopori oleh az Zubeir bin Abdil Muthalib, dan terjadi antara Bani Hasyim, Bani Muthalib, Bani Asad bin Abdul ‘Uza, Bani Zuhrah dan Bani Taim di rumah Abdullah bin Jad’aan at Taimi. Mereka bersepakat, apabila mendapati orang yang terzhalimi dari penduduk Makkah atau luar Makkah, mereka akan menolongnya dan melawan orang yang berbuat zhalim, sampai mengembalikan hak orang yang dizhalimi tersebut Mereka saling menolong dan mengembalikan hak orang yang dizhalimi dari orang yang menzhalimi.[7]

Kisah terperinci yang menjadi penyebab terselenggaranya sperjanjian ini diriwayatkan Ibnu Katsir tanpa sanad sebagai berikut :

Dikisahkan, sebab munculnya perjanjian ini ialah, seseorang dari daerah Zabid datang ke Makkah membawa barang dagangannya, lalu dibeli al ‘Ash bin Waa’il as Sahmi, tokoh terkemuka Quraisy. Tetapi al ‘Ash tidak membayarnya. Orang tersebut meminta bantuan Ahlaaf, yaitu Bani ‘Abdi Daar, Makhzum, Jum’ah dan Sahm. Namun mereka menolak membantu agar mendesak al Ash dan justru malah menghardiknya. Ketika orang Zabid ini melihat gelagak buruk, maka ia naik ke Jabal Abu Qubais ketika matahari terbit, dan waktu itu bangsa Quraisy sedang berkumpul di sekitar Ka’bah. Lalu ia berseru sekuat-kuatnya :

Wahai anak keturunan Fihr, ada barang dagangan orang yang terzhalimi
Di lembah Makkah, dari orang yang datang dari jauh dan akan pergi
Dalam keadaan berihram, kusut masai, belum selesai melaksanakan umrah
Wahai para tokoh yang berada di antara Hajar Aswad dengan Hajar Aswad
Sungguh tanah suci hanya pantas untuk orang yang sempurna akhlaknya
Dan tanah suci tidak pantas dihuni oleh orang yang jahat dan pengkhianat.

Mendengar seruan tersebut, bangkitlah az Zubeir bin Abdil Muthalib dengan berkata : “Apakah orang seperti ini dibiarkan?” Kemudian kaum Quraisy, Bani Zuhrah dan Taimi berkumpul di rumah Abdullah bin Jad’aan. Mereka berkumpul dan membuat perjanjian kesepakatan pada bulan Dzulqa’dah untuk bersatu membantu orang yang dizhalimi melawan orang yang zhalim, sampai ia mengembalikan haknya. Maka kaum Quraisy menamakan perjanjian ini Hilfu al Fudhul. Kemudian mereka berangkat menemui al ‘Ash bin Waa’il, lalu meminta barang dagangan orang Zabidi tersebut, dan al ‘Ash pun kemudian menyerahkannya kepada orang tersebut.

Kisah ini pun diriwayatkan oleh Ibnu Sa’ad secara ringkas dari jalan periwayatan al Waqidi [8] dan al Waqidi seorang matrukul hadits (jelas-jelas lemahnya), sehingga riwayat ini lemah.

Pelajaran yang bisa diambil dari kisah ini :
Pertama : Apabila penduduk jahiliyah menolak kezhaliman dengan fitrah mereka, seharusnya kaum Muslimin lebih pantas lagi menolaknya, tapi dengan landasan aqidah. Sebab Islam benar-benar memerintahkan umatnya untuk tidak berbuat zhalim. Hal ini juga selaras dengan nilai-nilai fitrah. Sehingga bukan hal yang aneh bila Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan arti penting perjanjian tersebut.[9]

Kedua : Kerusakan yang tersebar dalam tatanan sosial atau masyarakat, tidak berarti hilangnya seluruh kebaikan dan keluhuran budi pekerti di lingkungan tersebut. Inilah yang ditunjukkan oleh peristiwa Hilfu al Fudhul. Penjelasannya, kota Makkah adalah masyarakat jahiliyah yang dipenuhi oleh penyembahan berhala (paganisme), kezhaliman, zina, riba dan perkara lainnya yang merupakan sendi-sendi, adat dan moral masyarakat jahiliyah. Hanya saja, dalam komunitas yang seperti itu, masih ada orang-orang yang menjunjung tinggi arti kehormatan dan harga diri, membenci kezhaliman dan tidak mendiamkan seorang pun untuk berbuat dzalim.[10] Demikianlah, hakikat ini telah dijelaskan dalam sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ صَالِحَ الْأَخْلَاقِ

Sesungguhnya aku hanya diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.[11]

Ketiga. Peran az Zubeir dalam kisah ini menunjukkan tingkat kehormatan tokoh keluarga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan keutamaan mereka atas lainnya dalam peristiwa ini. Maka cukuplah kehormatan dan kemulian bagi mereka dengan munculnya seorang utusan Allah Subhanahu wa Ta’ala dari kalangan mereka.[12]

Keempat. Kisah ini mengindikasikan bahwa Islam membenarkan upaya pembelaan bagi orang yang terzhalimi dan menghalangi orang berbuat zhalim. Hal ini telah dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits :

انْصُرْ أَخَاكَ ظَالِمًا أَوْ مَظْلُومًا قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ هَذَا نَنْصُرُهُ مَظْلُومًا فَكَيْفَ نَنْصُرُهُ ظَالِمًا قَالَ تَأْخُذُ فَوْقَ يَدَيْهِ

“Tolonglah saudaramu yang berbuat zhalim dan yang dizhalimi,” Mereka bertanya,”Wahai, Rasulullah. Kami sudah menolong orang yang dizhalimi, lalu bagaimana kita menolong yang berbuat zhalim?” Beliau menjawab, “Menghalanginya (dari berbuat zhalim).”

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun X/1427H/2006M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Lihat ar Rahiiqul Makhtum, Shafiyurrahman al Mubarakfuri, Cet. ke-6, Th. 1418 H, Rabithah al Alam al Islami, Makkah, hlm. 68 dan as Sirah an Nabawiyah Fu Dhau’i al Qur`an was Sunnah, Muhammad Abu Syuhbah, Cet. Ke-6, Th. 1423H, Dar al ‘Ashimah, Beirut (1/213).
[2]. Lihat as Sirah an Nabawiyah Fu Dhau’i al Qur`an was Sunnah (1/213).
[3]. Tentang keikutsertaan Rasulullah dalam perang ini, telah diriwayatkan ahli sirah dalam banyak kitab. Namun semua riwayat yang menjelaskan keikutsertaan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam perang tersebut riwayatnya lemah. Peristiwa perang ini sangat mungkin terjadi, karena masyhur di kalangan ahli sirah dan ahli sejarah. Akan tetapi, lemahnya riwayat keikutsertaan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam perang tersebut, membuat kami tidak memuat kisah perang tersebut.
[4]. Hadits ini dishahihkan Syaikh Ahmad Syakir dalam tahqiq beliau terhadap Musnad Ahmad bin Hanbal dan Syaikh al Albani dalam komentar beliau t terhadap Fiqhus Sirah, dan lihat juga Silsilah Ahadits Shahihah (4/524).
[5]. Dalaail Nubuwah (2/37-38) dan al Bidayah wan Nihayah, Ibnu Katsir (2/315). Kami nukilkan dari kitab as Sirah an Nabawiyah fi al Mashadir al Ashliyah, hlm. 130 dan penulisnya menyatakan : “Isnadnya kuat”.
[6]. Dinukil Ibnu Katsir dalam al Bidayah (2/315), dan sanadnya shahih. Lihat kitab as Sirah an Nabawiyah fi al Mashadir al Ashliyah, hlm. 130.
[7]. Lihat ar Rahiiqul Makhtum, hlm 68, as Sirah an Nabawiyah fi al Mashadir al Ashliyah, hlm. 131, as Sirah an Nabawiyah Fi Dhau`i al Qur`an was Sunnah (1/213) dan as Sirah an Nabawiyah, Muhammad Abdul Qaadir Abu Faaris, Cet. Pertama, Th. 1418 H, Dar al Furqaan, Yordania, hlm. 119
[8]. As Sirah an Nabawiyah fi al Mashadir al Ashliyah, hlm. 131.
[9]. Ibid, hlm. 132.
[10]. As Sirah an Nabawiyah, Muhammad Abdul Qadir Abu Faaris, hlm. 119.
[12]. Dihasankan al Albani dalam Silsilah Ahadits Shahihah, Syaikh al Albani (1/112 no. 45).
[13]. As Sirah an Nabawiyah fi al Mashadir al Ashliyah, hlm. 132.


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/444-peristiwa-hilfu-al-fudhul.html